Friday, January 27, 2006

Cooking with Love…

Lebih dari 9 tahun jadi ibu rumah tangga, bisa dihitung deh, berapa kali gw berkutat di dapur dalam rangka menyiapkan menu lengkap untuk keluarga. Tapi, kita bicara menu lengkap loch!! Kalau sekedar menyediakan kudapan ringan sih, rutin gw lakukan. I’m so lucky, karena di rumah ada m’bak (baca: pembantu) yang sudah senior dan ahli dalam urusan masak-memasak (doski pernah kerja di orang Korea n Jepang, loch). Di tahun-tahun pertama sih, ketika semua pembantu mudik, gw dengan semangat tinggi terjun ke dapur untuk masak, mulai dari mengiris bawang, ngulek cabe, memotong daging dst., yang berakhir dengan hamparan menu komplit di meja makan. Tapi tahun-tahun berikutnya, terutama setelah punya 2 anak, gw lebih prefer angkat telepon untuk menghubungi tetangga yang punya usaha catering. Sip kan?

Bukan berarti gw gak suka masak loh… kalau soal rasa masakan sih, bisa dijamin laah, apalagi gaya gw kalau lagi masak, I’m cooking with style, honey... Gayanya Rudi Choirudin aja lewat, bow!!! Tapi, kelemahan gw adalah, I really have to be in the mood for cooking. :)

Dan sekarang ini, Alhamdulillah, nafsu makan anak-anak gw lagi lumayan meningkat. Jadi bisa aja tuh mereka minta makanan selingan yang harus cepat saji dan gak pilih-pilih waktu. Tiba-tiba menjelang jam 10 malem ada yang minta supper, gimana? Akhirnya keluar juga jurus-jurus andalan gw dalam menyiapkan kudapan untuk mereka. ”Nasgor Burger ala Bunda”, ”Pisang Bakar Keju”, ”Roti Bakar Coklat”, ”Spaghetti Bundanaise”, dll, menu-menu spesial yang semuanya tersaji not more than 5 minutes. Sebenarnya sih biasa aja, hehe.... Tapi yang bikin gw seneng adalah komentar dan celoteh Diffa dan Najya (my two precious kids) setiap kali makanan itu tersaji di depan mereka.
Wow...sedap...,
mmmhhh... haruuum,
nyami-nyami....cikakok,
uenak banget sih nasi goreng Bunda, etcetera...etcetera ...etcetera


My heart filled wit joy.....

Apalagi kalau mereka bilang: “Enakan bikinan Bunda, aah”, ketika si mbak mencoba bikin makanan yang sama. Yang pasti Najya pun akan memilih susu coklat hangat buatan bundanya doonk...

Buat gw itu pujian selangit. Apakah mungkin karena I’m cooking with love? Yup!! That’s the secret recipe. Dan mungkin itu juga yang selalu membuat gw merasa kangen pengen ke Bandung, leyeh-leyeh di rumah nyokap dan yang pasti menyantap semua sajian yang dimasak oleh Mama n Papa (bokap jago masak juga loch!!). Mulai dari tahu telor, mie rebus, nasi minyeuk, nasi tomat, gulai kambing, kari sapi, kambing bumbu kecap, tongseng, sampai tom yam goong (yang ini eksperimen bokap setelah dia makan tom yam terenak di S’pore) dan lainnya --yang banyak kalau harus disebutin semua.

Their foods are faboulus. They’re the greatest. They are cooking with love....

Apalah Artinya Sebuah Nama


Itu yang pernah dikatakan Shakespeare long, long ago. Tapi buat gw, nama adalah doa. Nama yang diberikan orang tua adalah doa mereka untuk anak-anaknya. Karena menurut junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, salah satu kewajiban orang tua adalah memberikan nama yang indah untuk anaknya.

Anak gw yang pertama lahir hari Selasa, 23 September 1997, pukul 22.15. Baru memasuki hari ketujuhlah, kami merasa mantap dengan nama yang diberikan untuknya. Haikal Muhammad Diffa. Haikal, artinya pokok yang rimbun, maksudnya semoga kelak dia dapat menjadi tempat berlindung untuk adiknya atau keluarganya. Muhammad adalah nama yang diberikan oleh abushi-nya, semoga akhlaknya meneladani akhlak Rasulullah. Diffa artinya pertahanan diri yang kuat. Mudah-mudahan Diffa menjadi pribadi yang mampu menahan segala godaan, cobaan, serta tegar dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi-Nya.




Empat setengah tahun kemudian, lahirlah Najya, tepatnya pada hari Kamis, 7 Februari 2002, pukul 18.50. Haifa Najya Zaffara, itu nama yang sudah dipersiapkan ketika melalui USG kami tahu bahwa we’re having a daughter. Haifa artinya cantik, indah. Najya artinya kind, sedangkan Zaffara artinya bijaksana. Semoga ia menjadi perempuan yang indah lahir dan batinnya, baik, lembut hatinya, welas asih, dan bijaksana dalam menjalani kehidupannya.





Dan setiap kali menyebut nama mereka, saat itu juga (disadari atau tidak) gw sedang mendoakan mereka. I will always, Insya Allah, pray for them. They're the most beautiful gifts in my life. They're the lights of my soul.


What else is reaching for heaven but a prayer?
There are prayers in their names.


Diffa, Najya,
Bunda loves you.

Miss Matching

Banyak temen yang manggil gw “miss Matching” (suka rada ge er juga sih..). Panggilan ini mungkin me-refer pada benda-benda yang sedang gw pakai, gw bawa atau melekat di badan gw. Memang yang paling gampang di-matching-in adalah dari warna benda tersebut, misalnya tas dan sepatu yang sewarna, atau celana dengan kerudung yang melekat di kepala dan seterusnya. Tapi gw bukan satu-satunya perempuan yang suka berusaha untuk me-matchingkan benda-benda di sekujur tubuh. Masih banyak “miss matching” lain yang beredar di kantor gw, atau di tempat lain di belahan dunia lain. Ceille.

Rasa-rasanya hampir semua perempuan yang memang memperhatikan penampilan pasti akan berusaha terlihat matching, atau minimal, ngga tabrakan. Mulai dari baju, sepatu, jam tangan, tas, atau stationary. Beberapa temen di kantor, kalau kita bongkar tempat pensilnya yang berwarna itu, pasti di dalamnya berisi alat-alat tulis yang juga sama warnanya, mulai dari pensil mekanik, ballpoint, gunting, stapler, lem, rautan, type-ex, penghapus, dll. Ada manfaatnya juga sih, kita jadi tau property masing-masing, misalnya tempat pensil warna ungu beserta isinya pasti punya-nya mbak yu Wied, atau si merah dan seperangkat isinya pasti punyanya mamie n’Die, dan yang oranye gonjreng itu punya gw, dst. Nah, khusus untuk perempuan-perempuan yang hobby matching-in alat tulis ini biasanya termasuk ke dalam stationary-freak juga. Artinya, dari jaman kecilnya dulu udah seneng ngumpulin pernak-pernik alat tulis. Coba deh, suruh mereka ke toko buku, terutama ke corner yang memajang berbagai pernak-pernik alat tulis, atau baru baca plang ”stationary” yang tergantung di plafon toko buku, baik disadari atau tidak, pasti kakinya udah berbelok atau sekedar mampir ke arah situ (walaupun gak harus beli).

Tapi tunggu dulu... jangan langsung membayangkan gw adalah ibu-ibu yang suka ditemui di mal-mal dengan kaos ketat berwarna oranye, pake celana bernuansa carroty, menyandang tas kulit jeruk warna oranye muda, melangkah dengan high heel bertali oranye menyala dan sematan jepit blink-blink berbatu oranye di rambutnya yang ber-highlight copper red. No way....

Gw masih mengikuti norma-norma yang diajarkan pakar grooming di kantor gw. ”You’d better wear fuchsia bag and shoes for your black or dark blue suit”, she said. Yang artinya, jangan sampai coba-coba pakai barang sewarna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Don’t you dare leaving your house in monochrome!! Apalagi ber-oranye ria, kaya seragam tukang parkir yang udah gak dipakai hampir satu dekade yang lalu (seragam petugas secure parking aja udah matching loch). Jadi maksudnya, fuchsia bag tadi akan jadi eye catching, atau pemberi aksen dramatis dari keseluruhan penampilan. Gw sendiri suka bereksperimen dalam urusan mendandani muka gw (yang makin lama makin bulet aja, neeh..). Misalnya, gw akan membubuhkan eye shadow warna hijau pupus waktu lagi pakai blouse baby pink. Gw gak akan berani pakai lipstick shocking pink untuk kemeja pink. Atau menjadi cewe berkelopak mata biru hanya karena lagi pakai baju dengan warna biru yang exactly the same. Kalau masih dalam nuansa warna yang sama, boleh laah. Tapi, coba deh pake lipstick warna bibir yang disempurnakan dengan ulasan lip gloss, jangan pakai eye shadow pink, cukup sapukan shading tepat di bawah alis serta bubuhkan maskara pada bulu mata yang udah dijepit. Dijamin lebih segerrr....

Ternyata dalam urusan matching-matching-an ini, gw punya kesamaan lain dengan salah satu temen gw. Dan yang ini hukumnya wajib! Setiap keluar rumah pastikan bahwa bra dan CD yang lagi dipakai sudah matching. At least warnanya sama atau senada. Buat gw sendiri sih, lebih karena alasan psikologis aja, rasanya kok lebih nyaman kalau tau bahwa daleman yang lagi dipakai memang matching dan dalam kondisi layak pakai (gak ada bekas tembakan peluru alias bolong, gitcu). Tapi waktu gw tau salah satu alasan teman gw itu memakai daleman matching adalah karena sebuah petuah dari ibunya, rasanya kok jadi make sense juga. Kata beliau, kita kan tidak pernah akan tahu kalau tiba-tiba kita (amit-amit) pingsan di jalan atau something happen along the day, dan kita terpaksa harus dilarikan ke emergency atw klinik terdekat. Bayangkan ketika team paramedis (ada yang ganteng lagi :P) mau memeriksa, ternyata kita sedang memakai bra renda-renda dengan warna biru turqois sedangkan CD-nya berwarna putih tua agak krem (dekil, maksudnya) dan ada jendelanya lagi... What a disaster !!

Sorenya, terpampang headline di sebuah harian petang ibu kota,
Diketemukan wanita pingsan berinisial XY dengan beberapa lubang di CDnya....

Tua di Jalan


Beberapa bulan terakhir, kalau melewati jalan Rasuna Said terutama dari arah Menteng menuju Mampang, terasa sekali kemacetan lalu lintas yang semakin parah. Di pembatas antara jalur lambat dan jalur cepat sepanjang jalan itu sedang dibangun tiang-tiang pancang yang sebagian masih berupa kumpulan batang-batang baja sebagai tulang untuk kolom-kolom yang akan menyangga lintasan Jakarta Monorail.
Padahal, tahun sebelumnya, gw masih mencoba beradaptasi dengan koridor bus way yang membentang di jalan-jalan protokol yang 3 in 1. Padahal lagi, belum hilang rasa lelah gw ketika harus menyusuri route tetap antara rumah dan kantor beberapa tahun sebelumnya, yaitu sekitar sepanjang tahun 2003, dimana di beberapa titik kemacetan (lampu merah) antara Cawang - Semanggi sedang dibangun fly over.

Tapi kok rasanya gw masih merasa beruntung. Jarak antara rumah dan kantor dalam kondisi kemacetan dapat ditempuh kurang lebih dalam 50 menit. Dimana gw bisa melenggang hanya dalam 10 menit di malam hari untuk route yang sama. Gw gak bisa bayangin temen-temen yang harus menempuh sekitar 2 jam setiap harinya untuk berangkat ke kantor. Berarti dari rumah harus jam 6 pagi, berarti mandi jam 5 pagi, berarti bangun jam 4 pagi, atau bahkan lebih pagi lagi sebelum terdengar suara kokokan si ayam jago di kampung sebelah. Brrr.... Salut rasanya, karena mereka sudah mampu beradaptasi dengan waktu tempuh yang panjaaang dan lamaaaa. Udah biasa tuh, sergah mereka. Artinya, jika mereka menempuh 4 jam dalam sehari untuk pp, maka dalam sebulan mereka menghabiskan 120 jam di jalanan atau lebih dari16 % umur mereka. (Eh, matematika-nya bener gak ya?) Dari sebuah studi yang pernah gw baca, ternyata di Amerika sana, orang-orang yang tinggal di daerah suburb memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibanding orang-orang yang tinggal di down town. Padahal sistem transportasi yang ada sudah cakep, padahal lagi maksud mereka tinggal di daerah pinggiran adalah untuk mendapatkan kualitas pemukiman yang lebih baik lengkap dengan back yard-nya yang luas.

Meanwhile, Bang Yos sudah mencanangkan rencana pembangunan sistem transportasi di kota metropolitan ini. Sebanyak 10 koridor busway akan selesai di tahun 2010, lengkap dengan jalur feeder busway yang akan mengelilingi urat-urat nadi jalanan di ibu kota. Belum lagi rencana subway bebas banjir antara blok M dan daerah segitiga emas di Jakarta. Kebayang kan, masih beberapa tahun ke depan kemacetan akan menjadi menu sehari-hari di sepanjang jalan yang sedang diperbaiki sistem transportasi-nya itu. Belum lagi kemacetan yang diakibatkan jumlah mobil yang terus meningkat tiap tahunnya ditambah dengan jumlah kendaraan beroda dua yang meningkat berkali-kali lipat. Anyway.....

Sekali lagi gw merasa beruntung. Kemacetan lalu lintas karena tersendatnya laju kendaraan di jalan-jalan yang sedang ditingkatkan sistem transportasinya itu, baru gw alami selama 10 tahun ini. Yup! Baru di tahun 1996 secara resmi gw menjadi penduduk ibu kota (maap ye, aye menuh-menuhin kota Betawi). Sebelumnya, kota Jakarta ini cuma gw singgahi secara berkala sebagai alamat libur (kaya yang biasa gw tulis di buku kenang-kenangan jaman SD dulu, hehe...). At least gw merasa lebih beruntung dari suami gw. Bayangkan selama masa kuliahnya, ditambah dengan beberapa tahun sebagai asisten dosen, ia harus menempuh jalan antara Cawang – Grogol, yang saat itu sedang dibangun jalan tol dalam kota. Pemandangan yang itu-itu saja harus dilalapnya setiap hari. Penderitaannya tidak hanya karena polusi udara saja, tapi polusi suara juga. Perjalanan menimba-ilmu nya harus diiringi dengan irama dentuman pile driving (alat untuk membuat tempat ditanamnya tiang pancang).
More than 5 years !!
Bong...Bong...Bong...
Bong…Bong…Bong Bong…Bong…Bong….


Look at the bright side, every body….

Many years after 2010, mudah-mudahan sistem tansportasi di Jakarta udah oke, artinya, anak-anak kita gak usah mengalami penderitaan seperti kita. Lalu lintas yang rapi dan teratur, alat transportasi massal yang nyaman dan murah, subway yang bersih dan bebas preman. Mmmh.... semoga itulah yang akan mereka nikmati.